RSS

Category Archives: Just Talk Active

tugas mata kuliah Dasar jurnalisitik

Menggugat Praktek Jurnalistik Dalam Peliputan Bencana

Bencana yang datang silih berganti di Indonesia menimbulkan keprihatinan tersendiri, Media massa berlomba-lomba untuk memberitakan kejadian seputar bencana, Tapi praktek jurnalistik dalam peliputan bencana perlu dipersoalkan.
a. Contoh, kedangkalan dalam menggali informasi misalnya dalam bentuk wawancara pertanyaan terhadap mereka yang gagal terbang karena bandara ditutup, kecewa nggak.? Hal seperti ini perlu ditanyakan apa nggak. Kemampuan dan kredibilitas wartawan dalam menggali informasi dipertanyakan.
b. Berita bohong contohnya isu adanya gas beracun dalam asap gunung kelud sempat dihembuskan oleh beberapa media sehingga menimbulkan kepanikan
c. Foto palsu yang sempat diunggah di laman media online yang kemudian diketahui bahwa berita tersebut adalah palsu. Bukan hasil dari wartawan yang bersangkutan.
Beberapa kritik:
– Rendahnya akurasi, verifikasi dan kedalaman berita. Wartawan ingin cepat memberikan gambaran berita kemudian melupakan aspek-aspek tersebut. Ritme kerja media yang dituntut cepat seringkali membuat wartawan berfikir pendek untuk mencari sekilas aja. Tidak mendalam
– Plagiasi, dituntut menghasilkan foto yang bagus sehingga plagiat foto orang lain
– Tidak adanya empat dalam pemberitaan. Memberitakan berita yang menggugah kesedihan, ditayangkan berulang-ulang dengan gambar yang menyeramkan. Akan terus mengingatkan korban akan peritiwa yang mereka alami
– Berita palsu, membuat keributan dan kegaduhan, keresahan

 
Leave a comment

Posted by on February 28, 2014 in Just Talk Active

 

Perhatian Islam terhadap Komunikasi (serial buku 2)

Hal 7-9

Dalam Islam, persoalan komunikasi juga mendapat perhatian yang serius. Beberapa prinsip dasar berkomunikasi disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadist. Prinsip-prinsip tersebut
berupa pedoman yang bersifat pokok dan bisa diaplikasikan dalam beragam praktek komunikasi. Beberapa di antaranya adalah prinsip qaulan sadida, qaulan karima, qaulan baligha, qaulan mansyura, dan lainnya.

Tabel Jenis Perkataan dalam Al Qur’an
 Qawlan sadidan (4:9 ). (benar)
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
 Qawlan Mansyuran (17:28) (layak)
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.
 Qawlan Layyinan (20:44) (lembut)
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.
 Qawlan Kariman (17:23) (mulya)
Perkataan yang mulia.
 Qawlan Ma’rufan (4:5 ) (baik)
Kata-kata yang baik.
 Qawlan Baligha (4:63) (jelas/fasih)
Kata baligh dalam bahasa Arab artinya sampai mengenai sasaran, atau  mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan Qawl (ucapan atau komunikai) kata baligh” berarti fasih, jelas makananya, terang dan tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu  prinsip  qawlan balighan  dapat diterjemahkan  sebagai prinsip komunikasi yang efektif

 
Leave a comment

Posted by on December 28, 2013 in Just Talk Active

 

Serial buku 1

Dalam beberapa kali postingan kedepan saya berkeinginan untuk memposting sebagian materi buku saya yang kedua, yang berjudul: KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK.
Buku ini sedang dalam proses penerbitan dan saya tulis bersama Ibu Made Dwi Adnjani. Harapannya buku ini akan membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Hal 1-3

Retakan-retakan kebhinekaan yang mulai menguat di tengah masyarakat kita semestinya mendapat perhatian serius dari semua pihak. Jika tidak kita perhatikan dengan serius maka keutuhan bangsa ini bisa jadi tinggal kenangan. Satu per satu wilayah Indonesia akan memilih untuk merdeka dan pada akhirnya Indonesia tinggal menjadi kenangan sejarah. Persoalannya bagaimanakah kita bisa mengatasi ancaman tersebut?

Jika kita mau menggali dan belajar dari sejarah perjalanan bangsa ini, maka jawaban pertanyaan tersebut bisa kita temukan. Generasi 1908 yang dipelopori Boedi Oetomo, generasi 1928 dengan Sumpah Pemuda, dan generasi 1945 yang berhasil mencetuskan proklamasi telah memberi pelajaran bagaimana persatuan dan kesatuan bangsa ini dibentuk. Kuncinya terletak pada kemauan untuk menghargai dan menerima kebhinekaan, mengikis egoisme pribadi dan membangun kesadaran kebangsaan. Perbedaan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa dikomunikasikan dengan efektif sehingga persatuan dan kesatuan bisa terwujud. Perbedaan tidak dijadikan alasan untuk saling membenci.
Melalui komunikasi yang efektif, setiap perbedaan disampaikan dengan penuh toleran tanpa bermaksud untuk menyakiti satu sama lain. Perbedaan yang terus dipendam tanpa pernah dikomunikasikan akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun. Oleh karena itu kemampuan berkomunikasi mutlak dimiliki oleh setiap individu agar mampu menjembatani beragam persoalan yang dihadapi.

Perhatikan ilustrasi berikut:
“Ani meminjam buku Ari sejak 2 bulan yang lalu. Kesibukan Ani di sekolah dan beragam kegiatan yang diikuti membuatnya lupa untuk mengembalikan buku Ari. Setiap bertemu Ari dia tidak terpikir untuk mengembalikan buku tersebut. Di lain pihak, Ari merasa tidak enak kepada Ani untuk meminta bukunya kembali. Menurut Ari semestinya Ani tahu diri dan segera mengembalikan buku tersebut. Karena perasaan tersebut tidak disampaikan kepada Ani maka jadilah terpendam kekesalan dalam hatinya.”

Ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya komunikasi antarindividu. Ani perlu menyampaikan kepada Ari kenapa belum mengembalikan buku, sementara Ari bisa bertanya dengan baik kepada Ani kapan bukunya akan dikembalikan. Persoalan tersebut jika tidak segera diselesaikan akan menumbuhkan benih konflik di antara mereka. Beragam konflik yang terjadi di negara ini muaranya seringkali berasal dari kurangnya komunikasi sehingga persoalan tidak segera diselesaikan.

Paul Watzlawick mengungkapkan pentingnya berkomunikasi dengan sebuah kalimat, we can not not communicate (kita tidak bisa untuk tidak berkomunikasi). Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk sosial, sehingga berkomunikasi adalah sebuah kebutuhan untuk menyelesaikan beragam persoalan yang timbul dalam pergaulan manusia.

 
Leave a comment

Posted by on December 24, 2013 in Just Talk Active

 

Perhatian Islam Terhadap Komunikasi

Dalam Islam persoalan komunikasi juga mendapat perhatian yang serius. Beberapa prinsip dasar berkomunikasi disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadist. Prinsip-prinsip tersebut berupa pedoman yang bersifat pokok dan bisa diaplikasikan dalam beragam praktek komunikasi. Beberapa diantaranya adalah prinsip qaulan sadida, qaulan karima, qaulan baligha, qaulan mansyura.dan lainnya.

– Qawlan sadidan
Dalam Al Qur’an, Alloh SWT berfirman tentang keharusan berkata yang benar. Sebagaimana dalam firman-NYa yang berarti:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (Q.S An-Nisa:9).
Arti perkataan benar adalah sesuai dengan kriteria kebenaran untuk orang Islam. Ucapan yang benar adalah yang sesuai dengan Al-Quran,Assunnah,dan Ilmu. Al-Quran menyindir keras orang-orang yang berdiskusi tanpa merujuk kepada Al-Kitab,petunjuk dan ilmu “Diantara manusia yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu petunjuk dan kitab yang menerangi “(Qs;31:20).

Al-Quran menyatakan bahwa berbicara yang benar,menyampaikan pesan yang benar,adalah prasyarat untuk kebenaran (kebaikan,kemaslahatan) amal. Bila kita ingin menyukseskan karya kita,bila kita ingiln memperbaiki masyarakat kita, maka kita harus menyebarkan pesan yang benar dengan perkataan yang lain. Hal ini berarti masyarakat menjadi rusak jika isi pesan komunikasi tidak benar. Berkomunikasi dalam Islam harus dilandasi semangat, maksud, tujuan, dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan kebaikan bagi masyarakat, keluarga maupun orang yang diajak bicara. Ini adalah prinsip dasar berkomunikasi dalam Islam, harus berkata benar, hal-hal yang benar dan disampaikan dengan cara yang benar.

Alloh SWT berfirman, “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71].

Wujud ketakwaan seseorang salah satunya ditunjukkan dengan kemampuanya untuk berkata yang benar. Berkata yang benar berkaitan dengan keimanannya dalam beragama. Meyakini bahwa segala macam perbuatan termasuk perkataan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

– Qawlan Maysyuran
Perkataan selanjutnya yang menjadi dasar dalam berkomunikasi adalah perkataan yang pantas, tidak merendahkan martabat orang lain, tidak menghina, tidak menghancurkan kemuliaan orang dan tidak mengungkit segalam kebaikan yang pernah diberikan kepada orang lain. Setidaknya ketika kita belum bisa memberikan bantuan kepada orang lain, janganlah sakiti mereka dengan perkataan tidak pantas.

Alloh SWT berfirman yang artinya” Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas (Q.S Al Isra:28)

Ayat ini berkaitan dengan ayat ke 26 dalam surat yang sama. Ketika datang kepada karib kerabat, orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan dan membutuhkan bantuan maka bantulah mereka. Apabila kita tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang tersebut dalam ayat 26, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dalam pada itu kamu berusaha untuk mendapat rezki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka.

Seringkali ketika datang seseorang membutuhkan bantuan kita, maka kita menyambutnya dengan perkataan buruk atau malah mengusirnya. Jelas perbuatan ini dilarang dalam Islam. Kita harus memperlakukan sesama manusia dengan perkataan yang pantas. Bukan makian, hujatan, penghinaan atau merendahkan martabatnya. Saudara, tetangga, atau orang miskin yang membutuhkan bantuan seringkali terpaksa datang untuk berhutang atau meminta sumbangan. Jika kita belum mampu membantu mereka, maka tidak perlu kita mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Jika kita telah mampu membantu mereka, maka bantulah dan tidak boleh dibarengi dengan kata-kata yang menyinggung perasaan.
Misalnya, Si A datang ke rumah B untuk meminjam uang. Si A menyambut B dengan kata-kata, “ada apa, mau pinjam uang?. Pinjam uan kok tiap hari”. Meskipun kemudian si A memberikan pinjaman uang, tetapi perkataan yang disampaikannya tetaplah menyakitkan buat B.

– Qawlan Layyinan
Ciri utama dari perkataan ini adalah lemah lembut, persuasive, cerdas , memahami lawan bicara dan mampu mengendalikan emosi. Perkataan yang lembut dan cerdas mencerminkan individu yang tenang dan mampu mengatasi situasi komunikasi yang terkadang tidak sesuai dengan keinginannya.

Alloh SWT berfirman yang artinya” Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Q.S Thaha:44)

Ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya terkait perintah kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. Mereka diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun, mengajaknya kepada kebenaran. Alloh SWT Maha Tahu bahwa Fir’aun adalah sosok yang melampaui batas. Dia mengaku kalau dirinya adalah Tuhan yang harus disembah. Jelas bahwa dia adalah sosok kafir yang sangat dzalim. Meski demikian perintah berdakwah yang diterima oleh Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS tetaplah menggunakan perkataan yang lemah lembut.

Kita analogikan ketika kita berkomunikasi dengan orang tua, tetangga, teman atau bahkan orang yang jahat sekalipun terkadang kita menggunakan kata-kata yang kasar. Sebuah pertanyaan sederhana, apakah mereka lebih buruk dari Fir’aun sehingga kita bisa berkata kasar?. Ataukah diri kita lebih baik dari Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS yang tetap diperintahkan untuk berkata lemah lembut?.
Sungguh memprihatinkan ketika anak berkomunikasi dengan orang tua menggunakan kata-kata yang kasar. Demikian halnya ketika orang tua menasehati anaknya dengan kemarahan dan makian. Jika prinsip ini berjalan dengan benar kehidupan komunikasi pasti akan berjalan menyenangkan. Setiap manusia berhubungan dengan kelemahlembutan.

– Qawlan Kariman

Alloh SWT berfirman yang artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Q.S Al Isra:23).

Hubungan antara anak dengan orang tua mendapat perhatian yang sangat serius dalam Islam. Dalam beberapa ayat disebutkan bagaimana kedudukan berbakti kepada orang tua sangat tinggi. Selalu disandingkan antara keimanan seseorang dengan bukti hubungan baiknya dengan orang tua.

Dalam berkomunikasi dengan orang tua, Islam memberikan rambu-rambu yang jelas. Yakni kewajiban untuk menghirmati, tidak menghardik, tidak melawan atau bahkan sekedar menunjukkan mimik tidak suka. Upaya untuk menentang orang tua dalam berkomunikasi tidak dibenarkan. Bahkan ketika kita berbeda pendapat atau orang tua berbuat kesalahan , kita tetap diharuskan memuliakan mereka dalam berkomunikasi. memilih kata-kata yang tepat ketika menolak atau tidak sepaham dengan orang tua.

Memilih perkataan yang mulai sesungguhnya menjadi bagian dari upaya kita untuk memuliakan orang lain dan diri kita sendiri. Artinya orang lain ketika berkomunikasi dengan kita juga akan mampu mengahrgai ketika kita juga memuliakan mereka. Seringkali manusia tidak dihargai karena dirinya sendiri tidak mampu untuk menghargai orang lain.

– Qawlan Ma’rufan
Dalam Al Qur’an Alloh SWT berfirman, yang artinya, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Q.S An-Nisa:5).

Pernyataan (dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik), karena terkadang terjadi dari segi materi sudah dicukupi, tapi omongannya menyakitkan. Disamping itu, hal ini karena umumnya reaksi yang mudah diumbar dan sulit dikendalikan ketika orang yang marah adalah ucapan yang keluar dari mulut. Karena itu, penyebutan perkataan dalam ayat ini lebih dipertegas. Namun yang jelas, perintah berbuat baik tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi segala bentuk ucapan dan tindakan harus membuat nyaman bagi anak yatim .
Seringkali orang tua memenuhi hak anak secara materi atau pengasuh anak yatim memberikan materi yang cukup. Namun perkataan yang mereka ucapkan kepada anak-anak mereka atau anak yatim yang mereka pelihara adalah perkataan yang menyakitkan. Contohnya:
“Kamu itu, sudah semua kebutuhan dipenuhi masih aja sekolahnya bodoh”.

Perkataan ini jelas menyakitkan bagi anak meskipun kebutuhan mereka secara materi dipenuhi. Demikian halnya perilaku anak kepada orang tua mereka. Biasanya ketika orang tua sudah berusia lanjut dan ikut anaknya sering muncul perkataan yang tidak menyenangkan orang tuanya. Anak merasa telah memberikan fasilitas yang memadai sementara orang tua tidak mengerti keadaan mereka.

– Qawlan Baligha
Kata Baligh dalam bahasa Arab artinya sampai mengenai sasaran , atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan Qawl ( ucapan atau komunikai) kata Baligh” Berarti fasih, jelas makananya ,terang dan tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif.
Allohg SWT berfirman yang artinya “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (Q.S An-Nisa:63).

Komunikasi yang efektif ditandai dengan pemahaman diantara partisipan komunikasi, diikuti dengan perubahan sikap, pemikiran dan perilaku. Cara berkomunikasi yang efektif diantaranya dengan pemilihan kalimat yang tepat, elihat kemampuan lawan bicara, melihat situasi dan kondisi. Nabi Muhammad SAW mencontohkan cara berkomunikasi dengan baik ketika menghadapi orang dengan berbagai tingkatan usia.
Misalnya, Nabi SAW bercanda dengan seorang anak kecil yang baru saja ditinggal mati oleh burung kesayangannya. Beliau tidak menggunakan bahasa orang tua yang berat melainkan dengan sapaan selayaknya usia anak-anak.

Berikut petikan sebuah Hadist yang menyebutkan Nabi SAW bercanda dengan anak-anak.
Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu? (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Ketika bertemu dengan seorang yang sudah tua, Nabi SAW juga memilih kalimat yang berbeda sesuai dengan usianya. Seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah: “Ya Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab: “Ya Ummi,sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua”. Perempuan itu menangis mengingat nasibnya Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah di surat Al Waaqi’ah ayat 35-37 “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadits hasan) .

Nabi SAW tidak sedang berbohong karena di surga semua manusia kembali berusia muda. Beliau ingin bercanda dengan nenek tersebut dan ternyata setelah dijelaskan tentang kalimat “di surga tidak ada orang tua” nenek tersebut kemudian tersenyum. Islam memberi contoh bagaimana penggunaan komunikasi yang efektif untuk tujuan memberi informasi, menghibur, memberi peringatan atau bergurau.

– Larangan ghibah
Membicarakan aib orang lain (ghibah) sudah menjadi kebiasaan manusia semenjak dahulu. Bahaya dari perbuatan ini sudah dijelaskan dalam syariat. Karena itu rambu-rambu larangan berghibah disebutkan dalam AL Qur’an maupun hadist. Saat ini ketika media massa berkembang pesat, ghibah justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan melalui beragam program infotainment. Larangan berghibah disebutkan dalam beberapa dalil berikut.

Allah berfirman artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat lainnya Alloh SWT berfirman yang artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [Qaf : 16-18]

Dalam kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan. “Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta”

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Roasulullah bersabda. Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara

Perbuatan ghibah sangat dilarang dalam Islam, bahkan diibaratkan dengan memakan daging saudaranya sendiri. Saat ini praktek komunikasi sudah sangat jauh dari nilai-nilai tersebut. Adanya program infotainment yang mengupas keburukan orang lain telah merusak tatanan masyarakat. Kemudian muncullah kebencian, saling curiga, dan ghibah yang terus-menerus tanpa henti. Dalam sejarah manusia ghibah yang dilakukan untuk membahas keburukan orang lain teah menghancurkan banyak kaum. Karena itu, dalam kegiatan komunikasi perhatian terhadap ghibah selalu ditekankan dalam Islam. Inilah beberapa asas yang menjadi pegangan ketika berkomunikasi, sehingga umat Islam menjadikan komunikasi sebagai bagian dari praktek ketaatan terhadap syariat sekaligus memberi maslahat dalam kehidupan manusia.

 
Leave a comment

Posted by on November 8, 2013 in Just Talk Active

 

Komunikasi Transendental

Dalam Islam sejatinya komunikasi antara manusia dengan Alloh SWT adalah kunci atau landasan bagi komunikasi yang lain. Dalam hubungan individu, kelompok, organisasi maupun praktek komunikasi massa tidak bisa dilepaskan dari komunikasi hamba dengan Alloh SWT. Bentuk-bentuk komunikasi antara hamba dengan Alloh SWT terwujud dalam beragam ibadah yang dijalaninya. Ritual ibadah tidak hanya persoalan kebiasaan, gerakan fisik, tetapi juga mengandung komunikasi yang intensif. Beberapa diantaranya adalah sholat, dzikir, membaca Al Qur’an, dan berdoa.
Sholat didefiniskan sebagai aktifitas ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dalam rangkaian sholat tersebut terdapat beragam proses ibadah baik yang berupa amalan hati, amalan lisan, maupaun gerakan badan. Amalan hati berupa niat ketika manusia secara ikhlas menyatakan kepada Alloh SWT bahwa ibadah sholat yang dilakukannya tidak ditujukan kepada yang lain. Melalui lisannya manusia membaca ayat suci dan berdoa sebagai bentuk permohonan, penghambaan dan pasrah diri secara total.

Aktifitas berdoa yang dilakukan oleh manusia menjadi bentuk lain dari komunikasi antara manusia dengan ALloh SWT. Dalam doa manusia memanjatkan segala keinginannya, meminta segala kebutuhannya, meminta jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, memohon ampunan dan lainnya. Dia berkomunikasi dengan Alloh SWT dalam pekatnya sepertiga malam yang terakhir. Ketika sebagian besar manusia terlelah dalam buaian mimpi. Dalam Islam segala aktifitas komunikasi yang dilakukan oleh manusia tidak boleh lepas dari kerangka aturan yang telah ditetapkan syariat. Karena itu persoalan jujur, tidak mengadu domba, tidak memfitnah, tidak bergunjing dalam komunikasi bukan hanya memenuhi hak sesama manusia tetapi juga memenuhi kewajiban syariat yang telah ditetapkan.

Sebagai contoh kewajiban jujur dalam segala hal termasuk berkomunikasi telah ditetapkan dalam Al Qur’an. “Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21). Dalam hadist Nabi juga disebutkan tentang keharusan berbuat jujur. “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (HR. Muslim no. 2607).

Jadi dalam pandangan Islam aspek kejujuran dalam berkomunikasi bukan sekedar tuntutan kebutuhan antarmanusia tetapi juga merupakan kewajiban manusia dalam menaati syariat. Ini menandakan bahwa komunikasi transcendental bagi seorang muslim adalah dasar dan pijakan ketika dia berkomunikasi dengan manusia. Secara langsung komunikasi antara hamba dengan Alloh SWT juga dimanifestasikan dalam banyak ayat dan hadist. Dalam bentuk perintah dan larangan yang menunjukkan bahwa komunikasi itu dibangun.

Al Qur’an sebagai sumber pengetahuan juga memberikan tafsir tersirat dan tersurat tentang komunikasi. Salah satunya adalam Umul KItab Surat AL Fatihah. Umul Kitab adalah surat dalam Al Qur’an yang dibaca setidaknya tujuh belas kali sehari oleh setiap muslim. Dalam sholat wajib yang meliputi Subuh, Dhuhur, Ashar, Magrib dan Isya setiap muslim membaca surat ini sebagai bacaan wajib yang harus ditunaikan. Al Fatihah adalah rukun sholat yang harus dibaca. Tanpa bacaan tersebut, sholat seseorang dianggap tidak sah. Kandungan utama surat Al Fatihah secara garis besar dibagi dalam dua hal yaitu, komunikasi antara manusia dengan Rab-nya dan juga jawaban dari Rab-nya terhadap bacaan mahluk-Nya .

Hal tersebut tersurat dalam hadist berikut: dari Abu Hurairah, “Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca, ‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”

Hal tersebut mengisyaratkan adanya komunikasi transenden yang dibangun antara seorang muslim dengan Allah SWT. Kajian dasar yang membahas persoalan ini dalam ilmu komunikasi belum banyak dilakukan. Bidang kajian komunikasi selama ini dibatasi pada aspek human communication yang bersifat manifest. Pembahasan komunikasi dan teori yang melingkupi aspek praksis komunikasi didasarkan pada hubungan manifest yang dijalin oleh partisipan komunikasi. Kerangka imajiner dan relasi hubungan yang tidak bersifat manifest dianggap sebagai bagian terpisah dari proses komunikasi.
Dalam pandangan Islam kegiatan komunikasi tidak hanya membentuk pola hubungan antar manusia tetapi membentuk pola kedekatan hubungan antara manusia dengan Rab-nya. Sekulerisasi pemahaman untuk memisahkan kegiatan komunikasi antara manusia dengan manusia membuat pemahaman komunikasi terbatas pada aspek manifest. Pertanggungjawaban terbesar komunikasi manusia adalah dengan Rab-nya sehingga pemahaman ini menjadi dasar dari kegiatan komunikasi dalam Islam. Berkomunikasi dengan sesama manusia tidak bisa dibatasi dengan penilaian aspek manifest semata.

Proses formulasi teori meliputi tahapan inquiri yaitu, asking question, observation dan formulating answer . Proses inquiry, tak lebih dari proses menanyakan pertanyaan yang menarik, penting, dan selanjutnya menyediakan jawaban yang sistematis atas pertanyaan tersebut. Untuk meraih jawaban itu, diperlukan langkah kedua, yaitu observation (pengamatan). Dalam melakukan pengamatan, diperlukan metode yang berbeda-beda –seperti yang telah disebut sebelumnya– dari satu tradisi ke tradisi lainnya. Seorang peneliti haruslah merencanakan terlebih dahulu metode apa yang akan digunakannya, setelah ia melakukan tahapan berikutnya: asking question. Lalu tahap selanjutnya adalah constructing answers atau membangun jawaban. Dalam proses ketiga ini, para sarjana akan berusaha untuk mendefinisikan, mendeskripsikan, dan menelaskan, menilai, dan menginterpretasikan sesuatu yang diamati, yang akan sama dengan maksud dari “teori”.

Proses penyelidikan ilmiah ini tidak berlangsung secara linier, melainkan melaju melingkar, maju mundur dari poin ke poin. Misalnya, seorang sarjana komunikasi yang memiliki sebuah rancangan investigasi ilmiah tertentu, melakukan presentasi di hadapan para kolega dalam sebuah konvensi ilmiah. Proyeknya mendapatkan ulasan dari banyak pihak, sehingga ia dapat mengetahui letak kelemahan rancangan miliknya, dan barangkali terpaksa harus kembali ke poin awal. Atau maju ke depan, dan setelah hasil penelitian tercipta, akan tercipta pertanyaan-pertanyaan baru .

Tafsir Surat Al Fatihah memberikan penjelasan dengan rinci mulai dari proses dasar keyakinan seorang muslim sampai dengan proses komunikasi antara manusia dengan Allah SWT. Merujuk pada proses inquiri dalam mewujudkan sebuah teori, tafsir yang diketengahkan sesungguhnya menjawab segala persoalan yang dihadapi manusia. Pada tataran ini AL Fatihah sebagai wahyu dari Allah SWT tidak bisa dipandang sebagai teori karena bukan sebuah hasil pemikiran manusia. Lebih bijaksana dan tepat ketika menyatakan bahwa dalam tafsir Al Fatihah terdapat ajaran Allah SWT tentang komunikasi.

Teori dan praktek komunikasi hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan sistem kehidupan manusia. Demikian halnya teori komunikasi bukanlah asas dari kehdiupan manusia secara absolut melainkan bagian kecil dari manifest eksistensi manusia. Problematika komunikasi antarmanusia sesungguhnya bisa diselesaikan dengan bijak ketika manusia memahami makna dari Al Qur’an. Sebagai bagian tak terpisahkan dari proses keberadaan manusia di dunia, kitab suci ini merupakan panduan perbuatan manusia dalam segala bidang. Termasuk di dalamnya kegiatan komunikasi baik dipandang sebagai skill praktis maupun komunikasi dari sudut pandang keilmuan. Artinya ketika komunikasi dipandang sebagai kegiatan praktis, maka di dalam AL Qur’an sudah ada tuntunan secara praktis bagaimana berkomunikasi. Sedangkan komunikasi sebagai keilmuan juga dilandasi dengan acuan-acuan pokok dalam ayat yang tersebar di dalamnya. Dalam berbagai surat dan ayat ditemukan bagimana komunikasi secara keilmuan di konsepsikan. Hal ini tidak mengherankan karena AL Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan apapun yang ada di dunia ini.

 
Leave a comment

Posted by on November 5, 2013 in Just Talk Active

 

Karakteristik Jurnalistik Televisi

Gegap gempita dunia pers Indonesia seakan meledak sejak datangnya era reformasi. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No.40 tahun 1999 tentang pers, dimana pada pasal 4 ayat (2) dan (3) terkandung konsep “kemerdekaan pers” yang didefinisikan sebagai bentuk kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi tanpa hambatan dari pihak manapun. Televisi sebagai salah satu media penyampaian informasi yang paling efektif pun tidak lepas dari euforia kebebasan pers ini. Ketika peristiwa penting terjadi, stasiun televisi berlomba-lomba untuk mengulas kejadian secara ekslusif, mendalam dan menjadi yang tercepat untuk meraih rating pemirsa.

Fungsi televisi sebagai media informasi semakin penting. Media elektronik ini kini telah menjadi media informasi yang dicari orang karena kegiatan jurnalistiknya. Jurnalistik televisi di Indonesia baru muncul pada paruh kedua tahun 60-an. Itu pun dalam pengertian dan bentuknya yang paling sederhana, baik isi (content), packaging (format), maupun teknologinya. Isinya pun dipertanyakan kelayakannya sebagai karya jurnalistik. Dalam penyajiannya, TVRI sebagai satu-satunya televisi saat itu hanya menjadi alat propaganda, corong pemerintah, alias public relations (PR) pemerintah. Setidaknya hal itu tampak jelas sejak awal hingga berakhirnya rezim Soeharto. TVRI gagal menjalankan peran dan misi sebagai TV publik, sebagaimana Inggris dengan BBC-nya, Jepang dengan NHK-nya, atau Australia dengan ABC-nya.

Jurnalistik televisi semakin dilirik menyusul booming televisi di Indonesia. Lahirnya budaya televisi (audiovisual) memang mampu menggeser dominasi budaya tulis. Televisi seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dengan sifatnya yang immediately, media televise mampu mendekatkan peristiwa dan tempat kejadian dengan penontonnya (Baksin, 2006: 59). Terdapat beberapa unsur dominan yang menjadi ciri khas dari media televisi, yaitu; (1) Anchor; (2) Narasumber; dan (3) Bahasa yang digunakan.

 
Leave a comment

Posted by on May 30, 2013 in Just Talk Active

 

Media Massa Saat Ini

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan media massa di Indonesia cukup menakjubkan. Perkembangan tersebut mulai bangkit sejak tumbangnya Orde Baru dan munculnya era Reformasi. Pada era Reformasi itu, pemerintah menerbitkan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini, istilah kebebasan pers disepakati diganti menjadi kemerdekaan pers, yakni salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pada zaman inilah setiap orang berlomba-lomba menginformasikan segala sesuatu lewat media massa tersebut. Tak hanya itu saja, banyak orang yang mendirikan perusahaan media massa, seperti dibidang pertelevisian, radio, dan media cetak.
Sasa Djuarsa Sendjaya dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung (2000:6) menyampaikan data-data tentang perkembangan media sebagai berikut: (1) di bidang pertelevisian, selain jaringan TVRI, terdapat 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, ANTEVE, INDOSIAR, METRO TV, TRANSTV, TRANS7, tvOne, dan GLOBAL TV. Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi berlangganan satelit, 6 televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel; (2) dunia penyiaran radio pun mengalami kemajuan meskipun tidak sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran Radio di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah Stasiun Radio Swasta; (3) perkembangan industri dan bisnis penyiaran juga telah mendorong tumbuh pesatnya bisnis rumah produksi (Production House/PH). Sebelum krisis ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana sekitar 80% di antaranya berada di Jakarta. Pada saat krisis, khususnya antara tahun 1997-1999, jumlah PH yang beroperasi menurun drastis sampai sekitar 60%. Pada tahun 2003, bisnis PH secara perlahan kembali bangkit yang antara lain didorong oleh peningkatan jumlah televisi swasta. Kebutuhan TV swasta akan berbagai acara siaran, mulai acara hiburan sampai acara informasi dan pendidikan, banyak diproduksi oleh PH lokal; serta (4) dalam bisnis media penerbitan, khususnya surat kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam hal kuantitas. Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media penerbitan. Jumlah tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah. Hal menarik dalam penerbitan media massa cetak ini adalah semakin beragamnya pelayanan isi yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan segmen khalayak pembacanya.
Dengan perkembangan seperti di atas, baik dalam jumlah maupun jenisnya, mustahil semua media massa menguasai seluruh pasar yang ada. Sebaliknya, kecil sekali kemungkinan hanya satu media massa dapat menguasai seluruh pasar, dalam arti memenuhi segala macam tuntutan pasar, karena tuntutan pasar juga sangat bervariasi. Kompetisi telah menjadi kata kunci dalam kehidupan media massa saat ini. Dalam memperebutkan pangsa pasar, kompetisi media massa tidak hanya meliputi aspek isi, penyajian berita atau bentuk liputan lainnya, tetapi juga aspek periklanan. Media massa pun kemudian berkembang menuju konsep yang kapitalis. Artinya, media massa mempunyai keterikatan dengan industri pasar, yang secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi dimana di satu sisi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sementara di sisi lain idealisme media massa menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa, atau pendengar memiliki sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berpikir.
Saat ini tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim kapitalisme yang mendominasi peradaban dunia global. Berakhirnya Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni Soviet beserta negara-negara satelitnya sering diinterpretasikan sebagai kemenangan kapitalisme. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadir menggerakkan aktivitas, termasuk dalam industri media. Sehingga, industri media memiliki kaitan yang sangat erat dengan tumbuhnya semangat kapitalisme. Munculnya konglomerasi media, satu perusahaan besar menaungi beberapa media sekaligus seperti misalnya MNC, Trans Corp, dan Kelompok Kompas Gramedia (KKG), dianggap sebagai aktivitas pemusatan modal dalam industri media.

 
Leave a comment

Posted by on May 29, 2013 in Just Talk Active

 

Jurnalisme Blow Up dan Posisi Etis Media

Tajuk rencana Suara Merdeka Selasa 30 April 2013 yang berjudul Realitas Media, Sejauh Mana? mengusik nalar dan nurani mereka yang berkecimpung di bidang komunikasi. Melalui tajuk rencana tersebut Suara Merdeka mengusik kembali kepekaan etis dari para pelaku industri media. Meski sejatinya tulisan tersebut juga mengusik kalangan akademisi, ulama,dan tokoh panutan masyarakat yang selama ini mengajarkan etika di ruang-ruang kelas, mimbar keagamaan atau ruang pertemuan social lainnya.

Media massa digerakkan oleh nurani rating, tiras, share dan besarnya kue iklan yang kemudian menepikan etika dalam pemberitaan. Kasus perseteruan antara Eyang Subur dan Adi bing Slamet, pembebasan Raffi Ahmad, dan meninggalnya Uje sekedar contoh bagaimaa mekanisme tersebut berjalan. Ruang-ruang televise di pagi, siang, sore dan malam hari dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa tersebut. Lembaran-lembaran media cetak menyediakan kolom-kolom yang luas untuk membahasnya. Sementara media online menyediakan kanal dengan kecepatan dan interaktifitas tinggi untuk mengakomodasi masifikasi pemberitaan.

Atas nama mengejar rating, tiras, oplah dan pemasukan iklan media memberikan porsi yang sangat besar bagi peristiwa-peristiwa tersebut. Diciptakan sebuah magnitude peristiwa yang seolah-olah menggambarkan besarnya fenomena tersebut. Jika dinalar dengan logika sehat sebenarnya kasus-kasus tersebut tidaklah menguasai hajat hidup sesungguhnya dari masyarakat kita. Ruang-ruang media disesaki pemberitaan yang menumpulkan nalar dan kesehatan mental pemirsanya.
Kenaikan harga BBM, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pengangguran, mestinya menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat kita,. Namun media berhasil menepikan persoalan-persoalan tersebut dengan menciptakan realitas baru yang dianggap lebih penting. Realitas yang muncul di media melebihi realitas sesungguhnya yang ada di masyarakat (hyperreality).

Media mengedepankan tujuan akhir dari sebuah proses pemberitaan. Ketika rating naik, tiras meningkat dan iklan melejit maka tujuan akhir dari kinerja media dianggap telah tercapai. Cara berfikir praktis dengan mengedepankan kepentingan ekonomi merasuki sebagian besar proses pemberitaan media.
Dalam pandangan etika teleologi, konsekuensi dari tindakan yang dilakukan menjadi perhitungan yang harus diutamakan. Etika teleologi memperhatikan hasil perbuatan. Teleology berasal dari kata Yunani telos [tujuan, akhir] dan logos [wacana atau doktrin]). Memiliki pemikiran yang sama dengan teori etika konsekuensi Baik-tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. . Jika jurnalis mendapatkan kenikmatan dari aktivitas yang dilakukannya, maka ia telah melakukan hal yang benar

Dengan memberitakan sebuah fenomena yang dianggap menjadi kepentingan umum, maka tindakan media dianggap benar. Proses blow up pemberitaan seperti dalam kasus Eyang Subur dan Adi bing Slamet, pembebasan Raffi Ahmad, dan meninggalnya Uje dianggap sah karena mewakili kebutuhan pemirsa. Klaim ini yang dipegang awak media untuk membenarkan kinerja mereka. Memberitakan kasus-kasus tersebut berarti telah memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang artinya jurnalis telah melakukan tindakan yang benar.

Deontologi Jurnalisme

Libois (dalam Haryatmoko,2007) mengajukan tiga prinsip utama deontologi jurnalisme yaitu: pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Termasuk di dalamnya hak akan martabat dan kehormatan, hak keseahatan fisik dan mental, hak konsumen, dan hak jawab. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Di dalamnya termasuk larangan untuk melakukan provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil.

Mencermati ketiga prinsip yang diajukan Libois tersebut fenomena blow up pemberitaan setidaknya mencederai beberapa hal. Diantaranya, pertama, hilangnya hormat dan perlindungan terhadap hak warga negara untuk mendapatkan informasi yang benar dan dibutuhkan. Media menutup ruang-ruang tersebut dengan menyajikan blow up pemberitaan pada kasus-kasus yang menguntungkan ekonomi mereka. Warga Negara disuguhkan remeh-remeh pemberitaan yang menutup kesempatan mereka mendapatkan informasi bermutu, sehat dan dibutuhkan. Tidak rasa hormat terhadap intelektualitas masayrakat dan perlindungan dari berita-berita yang tidak layak.

Kedua, mengabaikan kesehatan mental dari konsumen media. Kalau kita setiap hari disuguhi berita klenik, permusuhan, kesedihan, dan ketidakmanfaatan informasi lainnya maka mental kita juga akan terganggu. Sebagai konsumen, masyarakat tidak mendapatkan hak-hak mereka secara layak.
Ketiga, rusaknya harmoni di masyarakat akibat blow up pemberitaan. Sebuah konflik yang diberitakan secara massif dan terus-menerus oleh media akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Akan muncul kelompok yang berpihak pada salah satu diantara mereka yang berkonflik. Akibatnya harmoni kehidupan social akan terganggu oleh peristiwa yang sesungguhnya bukan urusan mereka.

Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga bisa jadi ada yang memihak Eyang Subur ada juga yang memihak Adi bing Slamet. Intensitas pemberitaan yang begitu kuat akan meningkatkan eskalasi konflik diantara anggota keluarga tersebut. Meski sesungguhnya perseteruan di layar media tersebut bukan persoalan rumah tangga mereka.

Dalam pemberitaan kasus-kasus yang lebih sensitive seperti konflik SARA, wilayah dan politik, maka akibat yang ditimbulkan akan lebih besar. Provokasi dari blow up pemberitaan akan memantik kebencian dan permusuhan di tengah masyarakat. Maka lahirlah konflik antar agama, antarkampung, antargolongan yang dipicu dari kebencian tersebut.
Jika blow up pemberitaan terkait dengan kegagalan kinerja pemerintahan maka potensi pembangkangan sipil bisa terwujud. Ketika kasus mafia pajak Gayus Tambunan di blow up besar-besaran di media, muncul sebuah sinisme public. Ada sebuah ungkapan yang mengindikasikan potensi menculnya pembangkangan sipil. Ungkapan “buat apa membayar pajak kalau kemudian cuma dikorupsi” sempat memancing beberapa ormas mengeluarkan sikap untuk mempertanyakan pentingnya membayar pajak.
Bahkan lebih ekstrim muncul wacana pembangkangan berupa keengganan membayar pajak.

Contoh-contoh tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya pertimbangan etis dalam proses pemberitaan. Deontologi jurnalisme semestinya bukan sekedar kajian etika secara keilmuan tetapi bisa diterapkan dalam praktek bermedia. Di setiap level yang berpotensi untuk mengambil keputusan etis semestinya memahami prinsip-prinsip tersebut. Dari level jurnalis yang bekerja di lapangan sampai redaktur yang membuat kebijakan pemberitaan semestinya bisa merujuk pada kaidah etika tersebut. Ketika mereka dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pertimbangan etis, ambillah sebuah prinsip yang mengedepankan deontologi jurnalisme.

 
Leave a comment

Posted by on May 15, 2013 in Just Talk Active

 

Dari Jendela Sebuah Kamar

Saya tinggal di sebuah kamar kos yang hanya memiliki satu jendela. Setiap pagi membuka jendela pemandangan yang kulihat selalu sama. Hamparan tanah samping kos yang ditumbuhi rumput, sebuah pohon mangga dan ayunan anak-anak yang biasa dipakai mainan anak-anak ibu kos. Kalaupun ada pemandangan yang berbeda paling pergantian warna rumput yang biasanya hijau di musim hujan dan kering di musin kemarau. Kadang juga terlihat anak-anak ibu kos bermain ayunan. Kalau lagi musim mangga ya bisa dilihat mangga bergelantungan di pohon, kalau lagi tidak musim ya hanya pohon itu yang Nampak. Inilah dunia yang saya lihat dunia yang saya pahami ketika membuka jendela kamar.

Bangingkan ketika kita menonton televise? Apakah sama?samakah televisi itu dengan jendela kamar kita?

 
Leave a comment

Posted by on May 7, 2013 in Just Talk Active

 

Kajian Psikokultural Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi dengan orang yang dinilai berbeda, mencakup proses-proses yang muncul dalam diri individu, dikenal sebagai proses psikokultural, yaitu berlakunya ekspektasi terhadap orang yang dianggap berbeda, sebagian diantaranya adalah fungsi dari stereotip yang dianut dan sikap terhadap kelompok yang tidak dikenal dan dianggap sebagai outsider tersebut.
Orang yang berinteraksi mengembangkan ekspektasi akan perilaku masing-masing, dalam memprediksi kebiasaan, mengembangkan preferensi tentang bagaimana orang lain seharusnya dalam keadaan tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Jackson (1964).

Budaya dan etnisitas kita turut mempengaruhi dalam berperilaku secara pantas dan menerapkan ekspektasi yang digunakan dalam menilai kompetensi komunikasi, disamping itu juga berlaku norma untuk menjaga perilaku dan pemikiran yang pantas, yang memiliki batasan serta perbedaan tersendiri dalam berbagai budaya dan subbudaya. (Gudykunst & Yun-Kim, 1997: 111).

Ekspektasi antar kelompok yang diberlakukan pada perilaku orang yang belum dikenal, merupakan hasil dari beberapa faktor kognitif sosial, yaitu sikap antar kelompok (miss: etnosentrisme dan prasangka) dan stereotip terhadap orang yang belum dikenal tersebut

 
Leave a comment

Posted by on April 15, 2013 in Just Talk Active

 
 
IELTS Liz

IELTS Preparation with Liz: Free IELTS Tips and Lessons, 2024

Open Mind

Sabar dan Syukur sebagai bekal kehidupan

HaMaZza's Blog

Berbagi Inspirasi, Cerita & Pengalaman

blog belalang cerewet

berbagi inspirasi, menguatkan harapan

momtraveler's Blog

my love ... my life ....

Let's remind each other...

..yuk saling mengingatkan..

All Words

Motivation Comes From The Words and Yourself

~Harap dan Terus Berharap~

tak ada yang bisa sobat dapatkan disini selain setetes ilmu dan keinginan untuk merajut benang-benang ukhuwah

Umarat's Blog

"Biasakanlah Yang Benar, Jangan Benarkan Kebiasaan"

Postingan Dunia

Dunia Membutuhkan kita