Perjalanan pulang ke tempat kelahiran selalu membawa selaksa makna bagi setiap orang. Kesempatan untuk datang kembali ke tempat kita dilahirkan seolah mengenang kembali memori masa lalu yang penuh dengan warna pelangi. Demikian pula yang saya rasakan menjelang Idul Fitri 1435 H yang lalu. Lahir dan besar di sebuah daerah terpencil di ujung selatan dan barat Jawa Tengah terpatri mendalam beribu kenangan saat kecil.
Saya lahir di sebuah dusun bernama Sidaurip Desa Sidanegara, terletak di Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap. Secara geografis Cilacap adalah kabupaten di bagian selatan dan barat Jawa Tengah. Desa kelahiran saya hanya dibatasi sungai Citanduy untuk menyeberang ke Jawa Barat. Berbatasan dengan Kabupaten Ciamis sehingga bahasa yang sehari-hari digunakan adalah campuran antara bahasa “ngapak” dengan sunda. Menurut cerita dari orang tua dan kakek, saya lahir tepat ketika daerah kami mengalami kekeringan. Kakek bercerita bagaimana sulitnya mendapatkan air bersih ketika itu. Untuk mendapatkan air bersih harus berjalan jauh dari rumah. Air sungai Citandui yang biasanya penuh tiba-tiba menyusut drastis di musim kering tersebut. Sumur sudah kering sementara hujan tak kunjung datang.
Belum banyak yang berubah dari masa ketika saya meninggalkan daerah tersebut di saat lulus SMP. Hanya terlihat jaringan listrik yang sudah menjangkau kampungku dan pengaspalan jalan yang sudah lubang di berbagai tempat. Sampai lulus SMP listrik belum masuk kampungku sehingga lampu “teplok” dan petromak menjadi andalan penerangan. Sanitasi juga masih sama, banyak selokan tertutup, air berwarna hitam dan bau air sumur yang anyir karena tercemar air selokan. Padahal air bersih adalah syarat bagi kehidupan yang sehat. Tanpa ketersediaan air bersih yang mencukupi kesehatan warga juga tidak terpenuhi. Pembangunan kesehatan berbasis ketersediaan air bersih akan membuat kesehatan warga meningkat.
Peran Bidan Desa
Hal kedua yang saya lihat ketika datang ke kampung halaman adalah perubahan perilaku masyarakat terutama terkait kesehatan reproduksi. Saya lahir dengan bantuan dukun bayi di kampung. Dukun bayi ini telah melegenda bertahun-tahun dan membantu banyak persalinan. Kehadirannya sudah ada semenjak orang tua saya kecil. Keahliannya diturunkan ke anak-anaknya sehingga keluarga Nyi Jojoh dikenal sebagai keluarga dukun bayi.
Semasa kecil sampai dengan SMP saya masih sering mendengar ibu yang meninggal ketika melahirkan. Dukun bayi sudah berusaha semampunya, tetapi batas pengetahuan dan kemampuannya memang tidak memungkinkan mendiagnosa persoalan kehamilan dan kandungan dengan lebih akurat. Pengetahuan yang didapat secara turun-temurun tidak dibarengi dengan pengetahuan medis dan peralatan yang memadai. Sekitar tahun 2007 saya masih mendapatkan cerita dari adik saya yang tinggal di kampung tersebut tentang proses kelahiran disana. Ketika melahirkan anak pertamanya dia di bantu oleh Nyi Jojoh, dia diminta menggigit rambutnya ketika melahirkan agar bayinya ceapat keluar. Alhamdulilah anak pertamanya lahir dengan selamat. Dia juga bercerita beberapa ibu-ibu disana yang kehilangan anak ketika melahirkan. Menurut data yang diperoleh dari WHO, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 9.900 orang dari 4,5 juta keseluruhan kelahiran pada tahun 2012. Hal itu sama dengan 66 pesawat Boeing 737 seri 400 jatuh dan seluruh penumpangnya meninggal.
Ketika Idul FItri kemarin, saya kembali menengok tempat kelahiran dan mendapatkan informasi yang menggembirakan. Kehadiran bidan desa yang dulu masih kurang diperhitungkan sekarang sudah mulai menjadi rujukan dan panutan ibu-ibu yang hamil dan melahirkan. Mereka juga sudah mulai sadar untuk memeriksakan kehamilan ke bidan dengan rutin, mengikuti saran kesehatan yang diberikan, dan mengikuti tahapan persalinan yang benar. Keberadaan dukun bayi bukan dikesampingkan tetapi mereka diberi bekal pendidikan kesehatan yang memadai. Masih cukup banyak masyarakat yang lebih mempercayai dukun bayi sehingga pemberian bekal kesehatan bagi mereka sangat diperlukan. Kolaborasi antara bidan desa dengan dukun bayi tersebut mampu meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan balita.
Dalam pengamatan di kampung halaman saya, keberhasilan usaha bidan desa dalam merubah cara pandang masyarakat tentang kesehatan kehamilan tidak lepas dari beragam faktor. Setidaknya ada dua hal yang berpengaruh yaitu:
a. Keaktifan bidan desa memanfaatkan waktu pertemuan dengan kelompok ibu-ibu. Forum yang bisa digunakan diantaranya acara pengajian, PKK, arisan.
b. Peningkatan peran puskesmas yang tidak lagi pasif tetapi aktif dalam menggalakkan kesehatan. Mereka bergerak mendekati masyarakat memanfaatkan forum dan agenda acara yang ada di lingkungan tersebut. Bagi masyarakat di kampung kami, Puskesmas sering dipandang sebagai tempat yang menakutkan. Pergi ke Puskesmas berarti kita sedang mengidap penyakit. Padahal Puskesmas memiliki peran lebih besar dari sekedar tempat berobat. Informasi tentang kesehatan, mencegah penyakit, dan beragam aktifitas kesehatan masyarakat terencana di Puskesmas termasuk penanganan kesehatan ibu dan bayi.
Program percepatan pembangunan kualitas kesehatan berbasis perdesaan telah dirasakan di tempat kelahiran saya. Urgensi peran bidan desa dan peningkatan kinerja puskesmas telah dirasakan manfaatnya. Ada beberapa hal yang bisa diambil pelajaran dari kisah di kampung kelahiran saya. Diantaranya:
1. Akan lebih baik jika bidan desa yang ditempatkan di daerah terpencil memiliki kemampuan berkomunikasi dengan bahasa setempat. Saat ini semakin banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. JIka mereka mau kembali dan membangun desanya tentu akan lebih mudah. Penguasaan bahasa dan pemahaman terhadap adat istiadat masyarakat setempat akan membantu memudahkan interaksi dengan warga.
2. Membekali bidan desa yang bertugas di daerah terpencil dengan kemampuan komunikasi yang memadai. Kemampuan untuk melakukan pendekatan, melakukan persuasi, dan kesebaran dalam menjalin komunikasi dengan warga.
3. Waktu masih SD di kampung saya seringkali ada acara layar tancap yang dilakukan oleh pemerintah. Biasanya selain memutar film perjuangan juga ada pemutaran film tentang kesehatan. Ini bisa jadi sarana untuk sosialisasi beragam program kesehatan. Saat ini ketika era teknologi komunikasi semakin canggih media sosialisasi tentu semakin banyak, tetapi bukan berarti media terdahulu tidak lagi efektif.
4. Jangan biarkan bidan desa berjuang sendirian dalam mendidik kesehatan warga. Mereka yang ditugaskan di daerah terpencil harus sering mendapat dukungan moral sehingga semangat tetap terjaga. Berjuang dengan segala keterbatasan di daerah terpencil membutuhkan energi dan konsistensi yang kuat. Karena itu dukungan moral sangat penting bagi mereka.
Semoga dengan semakin baiknya peran dari bidan desa, akan mampu meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi di daerah. Menatap wajah desaku, seolah menatap wajah-wajah desa terpencil lainnya di Indonesia. Bergerak menuju arah lebih baik menuju Perdesaan Sehat.